[caption id="" align="alignleft" width="275"] Joko widodo[/caption]
Dalam jagad perpolitikan nasional, nama Jokowi adalah fenomena. Mantan walikota Solo yang kini menjabat sebagai DKI–1, kisahnya begitu cemerlangl. Sosok Jokowi sebagai pengusaha, yang mulai meniti karir birokrasinya sebagai walikota Solo, dan terpilih dalam 2 periode. Belum sampai berakhirnya masa jabatanya yang ke-2 sebagai walikota Solo, dalam Pilkada Pilgub Jakarta 2012 kemarin, sosoknya muncul pertama kali disodorkan oleh Prabowo Subianto kepada Ketua Umum PDIP Megawati. Pada awalnya Megawati belum terlalu yakin bahwa Jokowi sanggup menaklukan DKI Jakarta, apalagi musuhnya Fauzi Bowo sebagai incumbent. Namun keyakinan Prabowo terjawab sudah, Jokowi mampu mempecundangi sekaligus memupus ambisi Bang Foke untuk meraih jabatan gubernur DKI periode keduanya.
Kemenangan Jokowi ini sungguh bisa membuat hati Prabowo demikinan berbunga-bunga. Mengingat hasil exit poll yang dilakukan SMRC pada saat Pilgub DKI Jakarta mengungkapkan bahwa mayoritas pemilih Joko Widodo - Basuki Tjahaja Purnama yakni sebesar 25 persen memilih Prabowo Subianto ketimbang Megawati Soekarnoputri yang dipilih hanya 13 persen. Sementara pertanyaan exit poll, Apabila Pilpres dilakukan sekarang (20 September 2012), siapa yang dipilih? Maka Warga Jakarta paling banyak memilih Prabowo, yaitu sebanyak 19% dibandingkan tokoh-tokoh lain untuk menjadi presiden. Megawatipun berada jauh dibawah Prabowo, hanya dipilih oleh 10,1% responden. SMRC juga berkesimpulan kemenangan Jokowi-Ahok lebih mendongkrak keterpilihan Prabowo Subianto dibanding Megawati Soekarnoputri.
Hasil temuan SMRC langsung mengobarkan kekecewaan dan kekesalan para elit PDI Perjuangan. Politikus senior PDIP, Taufiq Kiemas dalam menanggapi temuan di lapangan oleh SMRC dengan nada geram mengatakan bahwa PDI Perjuangan jera berkoalisi dengan Partai Gerindra. “Saya rasa kapok juga. Kami tidak mau jadi anak kecil. Untung Saiful Mujani ngomong, jadi bahagia juga kami ini,” ungkap Taufiq di gedung DPR Kompleks Parlemen Senayan Jakarta, Senin (24/9/2012).
Kekesalan dan kekecewaan Taufiq Kiemas ditimpali oleh sang istri Megawati Soekarnoputri ketika memberikan pidato di pembukaan Rapat Kerja Nasional (Rakernas) II PDIP di Surabaya, Jawa Timur, Jumat (12/10/2012). Ketua Umum DPP Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan Megawati Soekarnoputri menyebut ada banyak “penumpang gelap” yang ikut menikmati kemenangan pasangan Joko Widodo (Jokowi) – Basuki Tjahaja Purnama di Pilkada DKI Jakarta. Mereka, menurut Megawati, mengklaim sebagai pihak yang paling berjasa dalam kemenangan Jokowi – Basuki. “Ikut menikmati sukses tanpa merasa terganggu sedikit pun secara moral,” ungkap Megawati.
Mulai saat itulah publik meyakini bahwa ada kerenggangan hubungan antara kubu Prabowo Subianto dengan Megawati. Sehingga dalam Pemilihan Gubernur di Provinsi Jawa Barat pun mereka pecah kongsi. Misalnya adanya cerita yang cukup menarik dibalik penentuan PDI Perjuangan yang mengajukan sendiri jagoannya Rieke Dyah Pitaloka – Teten Masduki sebagai calon Gubernur dan Wakil Gubernur. Jauh hari sebelum penentuan pasangan Rieke – Teten oleh PDI Perjuangan (9/11), sebenarnya nama Teten pertama kali masuk dalam bursa Pilkada Jabar didukung oleh Partai Gerindra. Hal ini terungkap dalam pernyataan resmi Sekretaris Jendral Partai Gerindra, Achmad Muzani bahwa dalam Pilkada Jawa Barat 2013 Partai Gerindra akan mengusung mantan aktivis antikorupsi, Tenten Masduki. “Kami mempertimbangkan usung Teten Masduki,” ungkap Achmad Muzani Selasa (16/10).
Meskipun pada akhirnya Pemilihan Gubernur di Provinsi Jawa Barat berhasil dimenangkan oleh pasangan Ahmad Heryawan - Deddy Mizwar dengan suara 6.515.313 pemilih, namun Cagub PDIP Rieke Diah Pitaloka - Teten Masduki cukup meyakinkan menduduki rangking ke-2 dengan mendulang jumlah suara 5.714.997 pemilih. Pencapaian suara Rieke Diah Pitaloka - Teten Masduki ini sedikit banyak dipercaya dipengaruhi oleh Jokowi Effect yang gethol juga ikut berkampanye .
Kegagalan di Pemilihan Gubernur di Provinsi Jawa Barat justru mengobarkan semangat PDIP untuk menaklukkan Jawa Tengah yang merupakan pusat kandangnya Banteng moncong putih. Sebagai benteng terakhir PDIP di Pulau Jawa, Pemilihan Gubernur di Provinsi Jawa Tengah menjadi pertaruhan yang sangat menentukan bagi perjalanan politik PDIP terutama menjelang Pemilu Legislatif dan Pemilihan Presiden secara langsung 2014. Akhirnya hasil akhir dari berbagai lembaga survei itu menempatkan Ganjar Pranowo – Heru Sudjatmiko sebagai pemenang Pilgub Jateng dengan perolehan lebih dari 40 persen. Pasangan incumbent dengan nomor urut dua Bibit Waluyo-Sudidjono Sastroatmojo (BISSA) menempati urutan kedua quick count SMS dengan 23%. Kandidat nomor satu di Pilkada Jateng 2013-2018, Hadi Prabowo-Don Murdono (HPDON), hanya meraih 14%.
Kemenangan gemilang pada Pemilihan Gubernur di Provinsi Jawa Tengah ini, disamping karena kesolidan mesin partai untuk mendukung Ganjar Pranowo – Heru Sudjatmiko. Namun tidak dipungkiri bahwa kemenangan ini juga karena “mantera” Jokowi Effect yang muncul sebagai bintang iklan di televisi bersama Megawati dan Puan Maharani. Maka hampir tidak dapat dibendung bahwa kesuksesan PDIP yang mengantarkan kader mudanya ini untuk menduduki Jateng 1, juga memberi pesan yang lebih jelas sekaligus sedikit menyibak kabut gelap Calon Presiden 2014. Seperti diberitakan di media, hasil survei terakhir Centre for Strategic and International Studies (CSIS), elektabilitas Prabowo sebagai capres kalah jauh dengan Jokowi yang berada di urutan teratas. Elektabilitas Jokowi mencapai 35,1 persen dan Prabowo 16,3 persen. CSIS juga menanyakan responden siapa yang akan dipilih jika capres hanya Jokowi dan Prabowo. Hasilnya, Jokowi mendapat 46,6 persen dan Prabowo 22 persen. Sisanya tidak memilih.
Kebalikan dengan hasil Pemilihan Gubernur DKI Jakarta yang mengantarkan Jokowi menjadi DKI 1, sedikit banyak melambungkan nama Prabowo Subianto sebagai calon Presiden yang mempunyai elektabilitas paling tinggi. Setelah satu semester berlalu, popularitas dan elektabilitas Jokowi ternyata sudah tidak terbendung lagi sebagai calon Presiden 2014 yang paling potensial. Bahkan hasil survei CSIS memberi pesan tegas bahwa sang “anak macan” yang diusulkan oleh Prabowo, dan digadang-gadang bisa terus mendongkrak namanya, ternyata malah sudah “memakan korban” induknya sendiri. Megawati pun sudah kelihatan luluh melihat kenyataan tingginya elektabilitas Jokowi. Pesan-pesan implisit sudah mulai muncul untuk merestui kader muda Banteng moncong putih ini untuk tambil ke depan dalam Pemilihan Presiden 2014.
Itulah politik, tidak ada kesempatan yang datang untuk kedua kalinya. Kalau memang PDIP benar-benar ingin masuk dan memimpin lagi dalam pemerintahan setelah dua periode pemerintahan sebagai partai oposisi, maka tidak ada alternatif lain untuk mengajukan Jokowi sebagai Calon presiden 2014. Meski wacana ini buat kalangan elit internal PDIP masih dianggap terlalu prematur, seiring dengan makin menanjaknya popularitas dan elektabilitas Jokowi, maka pragmatisme politik bisa mengalahkan berbagai pertimbangan yang ideal. Sekali lagi kesempatan dalam politik itu tidak akan datang dua kali, take it or leave it.
Kompasiana
Fb : arofiq aja
No comments:
Post a Comment